
Semarang—ID Humanity Dompet Dhuafa melalui Disaster Management Center (DMC) dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Tengah meluncurkan program Kawasan Pemulihan Pesisir (KPP) di Desa Tambakrejo, Kecamatan Semarang Utara, Kota Semarang, Jawa Tengah, pada Kamis (27/2/2025).
Fokus program KPP di pesisir utara Jawa Tengah ini mencakup tiga daerah, di antaranya Tambakrejo, Bedono dan Batang. Kawasan pesisir di tiga daerah tersebut mengalami degradasi lingkungan yang cukup parah akibat krisis iklim.
Keberadaan aktivitas industri dari berbagai perusahaan besar yang memancang ruang operasi produksinya di kawasan pesisir memperburuk keadaan yang sudah buruk.

Program KPP ini ditujukan untuk mengatasi persoalan degradasi lingkungan tersebut, terutama memulihkan ekosistem pesisir, dan mendorong masyarakat pesisir sebagai terdampak mampu beradaptasi dari perubahan ruang hidupnya akibat krisis iklim.
Ahmad Baikhaki, Kepala Bagian Lingkungan DMC Dompet Dhuafa menjelaskan program KPP ini merupakan bentuk kontribusi dari Dompet Dhuafa dalam pemulihan ekosistem pesisir yang mengalami krisis iklim dan berdampak pada kehidupan warga pesisir.
Menurut Baikhaki, krisis iklim punya daya rusak yang sama besar terhadap kehidupan warga pesisir sebagaimana daya rusak yang disebabkan bencana alam terhadap kehidupan manusia secara langsung.
“Suatu wilayah yang terdampak krisis iklim punya jenis bencana yang pelan-pelan terjadi dan kemudian sekian tahun baru terasa, misal bencana itu seperti banjir rob, abrasi dan lain sebagainya. Kalau di laut itu misalnya cuaca ekstrem semakin sering terjadi,” ucap Baikhaki dalam acara peluncuran program KPP.

“Dompet Dhuafa dalam program KPP ini berkontribusi terhadap pemulihan pesisir utara Jawa. Dalam hal ini kontribusinya ada di aspek lingkungan, yaitu bagaimana kami memulihkan ekosistem mangrove,” lanjutnya.
Baikhaki mengatakan dengan terjaganya ekosistem mangrove di pesisir mampu menciptakan kembali habitat hewan-hewan laut. Hal ini menjadi ihwal positif untuk penghidupan nelayan.
Selain itu, keberadaan ekosistem mangrove di pesisir bisa menjadi perisai alami daratan dari terjangan abrasi dan rob yang kerap kali menjadi momok warga sekitar pesisir.
“Jadi spirit kami adalah menjaga mangrove yang tersisa itu yang kini terancam akibat industri dan tata kelola ruang yang tidak baik,” terang Baikhaki.

Selain itu, Baikhaki menerangkan fokus lain dari program KPP di pesisir utara Jawa Tengah ini adalah menyokong kemampuan adaptasi masyarakat pesisir menghadapi krisis iklim ini.
“Kita juga berusaha berkontribusi dalam aspek adaptasi masyarakat. Kita mendorong masyarakat untuk lebih tangguh lagi. Daya lentingnya lebih kuat lagi dengan cara kita kuatkan kemampuan ekonomi kelompok masyarakat pesisir,” ucap Baikhaki.
Akibat ramainya aktivitas industri di sekitar pesisir Tambakrejo, ikan-ikan menjadi sulit untuk dicari. Hal ini membuat para nelayan Tambakrejo beradaptasi pada penangkapan hasil laut, terutama kerang hijau, menggunakan rumpon (alat bantu penangkapan ikan yang dibuat menyerupai karang alami untuk menarik ikan berkumpul).

“Kita akan dorong masyarakat untuk memaksimalkan potensi rumpon kerang hijau ini untuk sarana resiliensi terhadap perubahan yang diakibatkan krisis iklim,” lanjutnya.
Tidak hanya di Tambakrejo, pendekatan aspek adaptasi masyarakat akibat krisis iklim akan digalakkan juga di Batang dan Bedono.
“Di Batang kami ajak perempuan di sana untuk mengolah hasil tangkapan ikan agar memiliki nilai jual lebih,” pungkasnya.
Dalam acara gelar wicara dalam peluncuran porgram KPP ini, Manager Advokasi dan Kampanye Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Tengah, Iqbal Alma menjelaskan, ruang tangkap nelayan di pesisir pantura terutama Semarang terancam oleh berbagai proyek pemerintah seperti kawasan industri maupun pembangunan.
Proyek itu mempersempit akses ruang tangkap nelayan. Ditambah hilangnya ekosistem mangrove, menurunnya kualitas pesisir karena sampah dan limbah, serta adanya alat tangkap tak ramah lingkungan.
Kondisi itu berpengaruh dengan pendapatan ekonomi nelayan. Pihaknya mencatat perbedaan ekonomi nelayan cukup mencolok antara rentang tahun 2000-2017, nelayan bisa mengantongi penghasilan Rp300 ribu-Rp400 ribu perhari dengan sumber pendapatan dari tambak ikan bandeng, tangkapan ikan, kepiting, dan udang.

“Rentang tahun 2017- sekarang, pendapatan nelayan Rp50 ribu sampai Rp100 ribu perhari dengan usaha pilihan nelayan hanya kerang hijau,” jelasnya.
Sittatun, warga Tambakrejo menceritakan bagaimana krisis iklim berdampak pada tempat tinggalnya, yang cukup mengganggu aktivitas hidup sehari-hari.
“Waktu demi waktu, di tahun 2000 itu sudah mulai terasa ROB yang masuk ke wilayah kami. Setiap hari wilayah tempat kami tinggal tergenang air ROB. Bahkan sampai setinggi lutut orang dewasa. Wilayah kami juga mengalami penurunan tanah yang begitu cepat, jadi setiap lima tahun sekali kami harus meninggikan rumah, dengan biaya yang tidak sedikit,” ujar Sittatun.

“Dengan adanya program dari DMC dan WALHI ini saya berharap kami, warga Tambakrejo, semakin kuat untuk tetap bertahan,” ujarnya.
Bersama kawan-kawan Tambakrejo, relawan Dompet Dhuafa Volunteer (DDV) Jawa Tengah, relawan Walhi Jateng, dan komunitas yang turut hadir, acara peluncuran program Kawasan Pemulihan Pesisir (KPP) di pesisir utara Jawa Tengah diakhiri dengan penanaman mangrove sebagai bentuk komitmen DMC dan Walhi untuk memulihkan kembali kawasan yang rusak akibat krisis iklim.

Kawan Baik, keberhasilan program Kawasan Pemulihan Pesisir (KPP) sangat bergantung pada komitmen dan partisipasi berbagai pihak.
Dengan langkah konkret seperti rehabilitasi mangrove serta peningkatan kapasitas adaptasi masyarakat, kawasan pesisir dapat kembali menjadi ekosistem yang sehat untuk seluruh makhluk hidup. Karena Bumi Cuma Satu, Berdaya Sekarang. (Muhammad Afriza Adha/ID Humanity)