
Menjadi manusia bukanlah perkara mudah. Seseorang harus memiliki kapasitas berpikir dan memilah mana hal yang baik dan mana yang buruk. Hal itu juga harus selaras dengan apa yang diucapkan dan apa yang dilakukannya. Apabila otak, mulut dan tindakannya tidak selaras, maka bisa dipastikan dia akan diragukan keabsahannya menjadi manusia.
Di sisi lain, dualisme atau–dalam spektrum yang lebih ekstrim–standar ganda merupakan hal yang manusiawi. Banyak yang memiliki standar ganda dalam aktivitas sehari-hari: mulai dari asmara, pekerjaan, hingga aktualisasi diri. Itu bisa dilihat sebagai anugerah yang dimiliki manusia sebagai makhluk yang bebas menentukan masa depannya. Akan tetapi apabila diterapkan terus menerus, hal ini akan menunjukan manusia yang tidak konsisten, dan pendiriannya akan diragukan oleh banyak pihak.
Beberapa ilmuwan sudah mengemukakan cara mempertahankan jiwa kemanusiaan yang dimiliki oleh seorang individu. Sebuah penelitian misalnya penting pengaturan diri (self-regulatory) yang mencakup pengawasan, penilaian dan reaksi.
Dalam tahap pengawasan, seorang individu haru menyadari setiap pemikiran dan tindakannya sudah selaras atau belum dengan nilai-nilai kemanusiaan, misal refleksi diri: “Apakah hari ini saya sudah memperlakukan orang lain dengan hormat?”.
Dalam tahap penilaian, seseorang harus bisa menilai dalam posisi orang lain: “Jika saya di posisi orang lain, apakah perlakuan saya merupakan hal yang baik?”. Tahap ini seseorang melatih keterampilan empati terhadap orang lain.
Dalam tahap reaksi, seseorang melakukan proses penguatan/motivasi atau koreksi diri. Dengan ini seseorang bisa terus menebar kebaikan dan semangat kemanusiaan, di satu sisi belajar memperbaiki diri apabila telah melakukan kesalahan.
Dalam studi yang berbeda, dalam eksperimen yang mereka lakukan, seseorang akan cenderung melakukan hal baik jika mereka terpapar isu-isu kemanusiaan. Bahkan sebanyak 44 persen meningkatkan aktualisasi diri dan donasi kebaikan.
Penelitian yang lain, mencatat ada tiga lingkungan atau domain dalam mempertahankan semangat kemanusiaan diri. Ada domain individu, relasi dan kelompok.
Di tingkat individu, seseorang pasti sudah memiliki bawaan atau pembentukan karakter maupun kepribadian yang dimiliki dari pembelajaran atau interaksi selama ini. Di tingkat ini, karakter seseorang masih bersifat dinamis yang sewaktu-waktu bisa berubah.
Di tingkat relasi, pembentukan karakter, pertukaran informasi dan pembelajaran berlangsung. Hal ini juga menjadi jembatan untuk berlangsungnya pengingat diri dari orang lain tentang suatu hal. Bisa suatu hal yang baik, bisa juga suatu hal yang buruk.
Di tingkat kelompok, pembentukan dan pemeliharaan karakter akan lebih mapan. Di tingkat ini seseorang akan mencari role model yang melekat dengan diri. Adapun role model itu bisa berupa sosok individu atau kelompok yang merupakan representasi yang lebih besar. Di sini pembentukan nilai-nilai kemanusiaan akan lebih matang, karena ada sosok dan dukungan kelompok.
Permasalah baru akan datang, jika struktur atau sistem yang ada, baik di masyarakat atau di lingkungan pertemanan, lingkungan kerja atau sejenisnya justru tidak mendukung atau mengimani nilai-nilai kemanusiaan. Hal ini bisa terlihat dari banyaknya oknum yang melakukan pelanggaran atau kejahatan: mencuri, melecehkan, mengeksploitasi, membunuh, korupsi atau sejenis lainnya.
Saya percaya bahwa setiap manusia yang lahir ke dunia merupakan manusia yang baik. Entah mereka lahir dari keluarga mapan, keluarga prasejahtera atau dari manapun, merupakan manusia yang baik. Namun seiring perkembangannya, manusia bisa jadi terjerumus hal yang buruk dan menjadi cikal bakal kehancuran suatu bangsa dan negara. Ketika satu individu sudah buruk, tidak menutup kemungkinan dia akan mempengaruhi sekitarnya untuk berperilaku buruk, dan tidak menutup kemungkinan bahwa keburukan itu akan menjelma menjadi suatu struktur atau sistem yang berlaku. Ketika ini terjadi, tidak hanya satu orang yang dirugikan, melainkan banyak orang akan dirugikan atau justru menjadi korban.
Jika kemungkinan terburuk di atas benar terjadi, maka suatu perubahan untuk satu hal yang baik sangat perlu dilakukan. Salah satu studi percaya bahwa di tengah kebrobrokan sistem di masyarakat, perubahan dapat terjadi lewat tangan-tangan individu kebaikan. Pasti ada celah dalam sistem yang kurang terpuji untuk kemudian menciptakan perubahan yang lebih baik. Harus ada individu yang memulai dan kemudian menyebarkan semangat perubahan ini ke individu yang lainnya. Entah dalam bentuk restrukturisasi atau reformasi.
Contoh misalnya pegawai yang ingin membantu warga miskin, meski aturan rumit, bisa mencari celah—dengan memberi informasi tambahan yang memudahkan akses bantuan.
Contoh lain misal relawan yang ingin membantu masyarakat tetap bisa menyalurkan donasi langsung ke warga terdampak bencana menggunakan dana pribadi meski prosedur lembaga formal lambat. Bisa juga relawan atau warga membuat kelompok gotong royong informal saat negara lambat merespons krisis. Cari celah kecil di dalam sistem untuk tetap menjalankan nilai kemanusiaan.
Untuk bisa melakukan semua itu dibutuhkan moral courage, sebuah keberanian untuk mempertahankan dan menyebarluaskan nilai-nilai kemanusiaan meski ada risiko yang menghampiri. Salah satu pengamat percaya keberanian ini harus dimulai diterapkan sehari-hari, bisa dimulai dari hal yang kecil, misal menolak menerima uang suap untuk melancarkan suatu projek atau sejenisnya. Selain itu, hal ini juga harus mendapatkan dukungan dari relasi atau kawan sejabat untuk memelihara keberanian dan menyebarkan keberanian ini secara masif. Bentuk aliansi dengan rekan yang sepaham agar tidak sendirian.
Salah seorang intelektual, mengusulkan jika perubahan kecil sulit dilakukan, maka solusi terakhirnya adalah melakukan perlawanan atau resistensi nirkekerasan. Perlawanan nirkekerasan bisa menjadi cara efektif untuk menyuarakan perubahan yang lebih baik dengan tetap mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan.
Contoh-contohnya bisa seperti warga menggelar aksi damai menolak penggusuran paksa, dengan membawa spanduk berisi pesan kemanusiaan, atau seperti mahasiswa melakukan diskusi terbuka tentang pelanggaran HAM, bahkan bisa juga melakukan aktivisme di media sosial dengan mempublikasi semangat perubahan yang baik.
Saya sadar bahwa ini semua hanya tulisan angan-angan yang masih jauh dari kata sempurna. Namun dengan tulisan ini semoga dapat menginspirasi banyak pihak untuk menjauhi tindakan-tindakan tidak terpuji dan memeluk semangat-semangat kemanusiaan. Karena perubahan membutuhkan uluran tangan. Rapatkan barisan dan Sipil Jaga Sipil. (Arifian Fajar Putera/ ID Humanity Dompet Dhuafa)