Bagaimana Perubahan Iklim Meningkatkan Kekerasan Berbasis Gender dan Seksual

“Pada tahun 2050, diperkirakan perubahan iklim dapat mendorong hingga 158 juta lebih wanita dan anak perempuan jatuh miskin (16 juta lebih banyak dari jumlah total pria dan anak laki-laki). Bahkan saat ini, 47,8 juta lebih wanita menghadapi kerawanan pangan dan kelaparan daripada pria,” tulis Perserikatan Bangsa-Bangsa (21/04/2025).

Perubahan iklim membawa banyak dampak kepada masyarakat. Ia datang dengan macam rupa: cuaca mendung, angin yang kencang, banjir, kelaparan, hingga kematian. Masyarakat sering kali luput akan kehadirannya. Ada persepsi bahwa fenomena alam merupakan hal yang jauh dari campur tangan manusia, bahwa itu semua adalah kehendak semesta, dunia yang jauh dari lingkup manusia.

Ini yang keliru. Perubahan iklim sangat erat kaitannya dengan campur tangan manusia. Sangat erat pula dampaknya terhadap manusia. Sebagai contoh, jika kita bertanya dengan orang tua kita, atau pendahulu-pendahulu lainnya tentang iklim cuaca di Indonesia, mereka bisa memperkirakan waktu musim hujan dan musim kemarau.

Meski terkadang perkiraan mereka meleset, paling tidak dugaan mereka tetap terjadi. Petani tidak mengeluh karena gagal panen atau berkembangnya hama. Karena mereka sudah memiliki warisan pengetahuan tentang iklim dan keanekaragaman hayati di sekitarnya. Sekarang, warisan dan prediksi mereka ditantang oleh perubahan iklim yang membuat mereka kelimpungan.

Hal ini juga mendorong berubahnya relasi antara masyarakat dengan masyarakat lainnya, individu dengan individu lainnya, antara lelaki dan perempuan.

Dalam laporan Rekomendasi Kebijakan Penghapusan Kekerasan Berbasis Gender Terhadap Perempuan dan Kelompok Rentan Dalam Konteks Krisis Iklim (2024) oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat perubahan iklim mengubah relasi gender bahkan mendata kekerasan sebagai konsekuensinya perubahan relasi tersebut.

Laporan tersebut mencatat empat lokasi fokus dengan pertimbangkan isu iklim di setiap wilayahnya, seperti fenomena krisis air, banjir dan rob/abrasi di Demak, Proyek Strategis Nasional berupa bendungan di NTT,  alih fungsi lahan menjadi perkebunan sawit di Jambi, dan laju peningkatan suhu mencapai 0,47 derajat celsius per dekade di Kalimantan Timur, serta pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke Nusantara pada 2024 (Komnas Perempuan, 2024: 9).

Di Jambi, ada alih fungsi lahan menjadi perkebunan sawit dan pembangunan kanal. Alhasil penebangan pohon terjadi. Lahan-lahan potensi menyerap air hujan menjadi berkurang. Dampaknya, banjir yang terjadi, paling besar pernah terjadi pada 2003 dan 2004. Selain perkebunan sawit dan pembangunan kanal, pembukaan lahan juga terjadi untuk memfasilitasi Pertambangan Tanpa Izin (PETI). PETI di Dusun Sungai Telang adalah pertambangan yang telah dimulai pada pertengahan 2022 (Komnas Perempuan, 2024: 9).

Konsekuensinya, pada 30 Desember 2023, Dusun Sungai Telang dilanda banjir hingga meluap ke pemukiman dan merendam pekarangan warga. Warga meyakini penyebab banjir tidak hanya tingginya curah hujan, tapi juga karena aktivitas PETI yang mengeruk badan sungai dan merubah bentuk aliran sungai. Dalam konteks ini, perempuan mengalami dampak langsung, seperti hambatan untuk pergi ke sawah karena harus menyeberangi sungai (Komnas Perempuan, 2024: 10).

Di Demak, ada banjir rob dan abrasi. Pada 2017 – 2018, terdapat salah satu perusahaan melakukan reklamasi di pelabuhan Tanjung Emas, Semarang yang berbatasan dengan pesisir utara Kabupaten Demak. Pada tahun 2019 dimulailah Proyek Strategis Nasional Pembangunan jalan tol untuk menghubungkan Semarang dan Demak. Selain reklamasi dan pembangunan tol, wilayah Kecamatan Sayung menjadi lokasi pabrik-pabrik yang menggunakan air tanah (Komnas Perempuan, 2024: 10).

Abrasi dan banjir rob yang terjadi mulai dari tahun 2010, mengubah tatanan kehidupan masyarakat. Mereka yang semula bertani sawah dan tambak, kini menjadi kuli bangunan, sebagian yang lain beradaptasi menjadi nelayan. Hal ini terjadi karena lahan mereka sudah termakan arus rob, perpaduan air asin, tanah, kotoran dan sampah. Sebuah ekosistem air yang baru. Banjir rob juga berdampak terhadap beban biaya yang harus dikeluarkan keluarga seperti biaya untuk pembangunan rumah panggung/peninggian, transportasi yang menggunakan perahu, dan pemenuhan air bersih (Komnas Perempuan, 2024: 11).

Dampak ini memaksa perempuan untuk beradaptasi dan belajar mendayung perahu sampan untuk berbagai tujuan. Perempuan di Dukuh Timbulsloko rentan mengalami kekerasan berbasis gender karena dampak sosial dan ekonomi dari banjir rob. Ini menjadi faktor pemicu kekerasan dalam bentuk penelantaran. Penelantaran ekonomi yang dialami oleh perempuan adalah hilangnya mata pencaharian, hilangnya lahan produktif dan penurunan pendapatan akibat banjir rob (Komnas Perempuan, 2024: 12).

Dalam laporan yang berbeda dengan judul Dampak Perubahan Iklim Terhadap Kekerasan Berbasis Gender di Indonesia (2023), kolaborasi Saraswati Development Innovation, UNFPA, UNWoman, dan KEMENPPPA, mencatat beberapa isu perubahan iklim dan konsekuensinya terhadap relasi lelaki dan perempuan.

Di laporan itu mencatat beberapa suku di Papua dan Kalimantan, laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga sebelumnya melakukan pembagian tugas dalam pemenuhan kebutuhan keluarga melalui praktik subsisten (bertani untuk kebutuhannya sendiri) ekonomi. Dengan masuknya industri ekstraktif ke wilayah mereka, maka relasi antara laki-laki dan perempuan berubah (Saraswati, 2023:90).

Praktik ekonomi subsisten menurun karena laki-laki kini bekerja di sektor industri ekstraktif. Di sektor industri ekstraktif perempuan seringkali tersisihkan dari sektor politik dan ekonomi. Hal ini mengakibatkan status sosial perempuan di mata keluarga menurun karena mereka tidak lagi dianggap produktif jika dibandingkan dengan laki-laki (Saraswati, 2023:90).

Meskipun perempuan tidak terlibat dalam industri ekstraktif, beban perempuan di lokasi industri bertambah sebab selain melakukan pekerjaan mereka untuk mengurus rumah tangga, mereka juga harus melakukan pekerjaan suami mereka untuk mengurus lahan dan ternak. Hal ini memicu konflik antara laki-laki dengan perempuan dan tidak jarang berujung pada adanya kekerasan fisik oleh laki-laki terhadap perempuan (Saraswati, 2023:90).

Hutan tropis Papua yang dialihkan menjadi perkebunan sawit berdampak pada degradasi sumber mata air. Sumber air menjadi kotor dan tidak lagi layak minum. Tugas perempuan untuk mencari air kini semakin berat karena mereka harus berjalan lebih jauh dan menghabiskan waktu yang lebih lama. Perempuan yang tidak berhasil mengumpulkan air dalam jumlah yang cukup atau yang memiliki anak yang sakit, seringkali disalahkan karena dianggap tidak dapat melakukan tugasnya dengan baik (Saraswati, 2023:94).

Sebagai pembanding atau contoh lain, dalam liputan DW Indonesia, dengan judul Pernikahan anak meningkat di Jakarta, perubahan iklim jadi sebabnya?merekam bagaimana perubahan iklim mendorong pernikahan anak atau pernikahan dini terjadi di Jakarta. Dengan fokus liputan terhadap masyarakat pesisir yang mata pencahariannya sebagai nelayan.

Perubahan iklim mengubah arah mata angin dan mengubah ekosistem biodiversitas laut. Konsekuensinya nelayan menjadi sulit menangkap ikan yang juga berdampak pada pendapatan ekonomi yang mereka terima. Implikasinya adalah sang istri/suami yang bertanggung jawab di rumah harus memiliki pekerjaan sampingan untuk menambah penghasilan demi memenuhi kebutuhan di rumah. Implikasi lainnya adalah dengan segera menikahkan anaknya agar beban rumah tangga menjadi berkurang. Dengan menikahkan anaknya, maka anak tersebut menjadi beban dan tanggung jawab pasangannya nanti. Satu dari lima wanita berusia 20-24 tahun, menikah sebelum mereka beranjak usia 18 tahun (UN Woman, 2024).

Secara global satu dari delapan perempuan berusia 15-49 tahun menjadi korban kekerasan seksual dan fisik yang dilakukan oleh lelaki pasangannya (UN Woman, 2024). Dalam sumber yang berbeda mencatat bahwa pembunuhan terhadap pasangan telah meningkat selama gelombang panas. Dalam periode tanggap daruat bencana atau kejadian bencana secara perlahan (slow on set disaster) juga menunjukkan kecenderungan maraknya perdagangan manusia, eksploitasi seksual, dan pelecehan. Keterbatasan sumber daya alam menyebabkan konflik yang disertai kekerasan, di mana pemerkosaan dan kekerasan seksual digunakan sebagai strategi untuk mengintimidasi, melakukan kontrol, dan perampasan akses pemenuhan kebutuhan dasar (Spotlight Initiative, 2025: 4).

Tentu solusinya tidaklah mudah. Tentu juga solusinya juga bisa dilakukan dalam waktu dekat. Akan tetapi ini adalah saatnya untuk mengevaluasi relasi gender dengan maraknya perubahan iklim.

Pertama, mengintegrasikan perspektif gender dalam kebijakan iklim maupun aktivitas sehari-hari. Pemangku kebijakan, lembaga swadaya masyarakat, bahkan masyarakat itu sendiri harus memastikan bahwa representasi lelaki dan perempuan harus andil dalam pembagian kerja maupun kebijakan.

Kedua, perkuat/bangun sistem perlindungan dan layanan korban kekerasan gender dan seksual. Bangun dan perkuat sistem perlindungan korban kekerasan di situasi darurat, termasuk rumah aman, jalur pelaporan, dan dukungan psikologis yang mudah diakses hingga ke wilayah pelosok yang minim pembangunan.

Ketiga, bangun infrastruktur atau akses yang setara dan adil terhadap sumber daya. Pastikan perempuan. Pastikan perempuan mendapatkan akses yang adil terhadap air bersih, makanan, dan tanah. Program distribusi bantuan harus mempertimbangkan keamanan dan kenyamanan perempuan.

Keempat, berikan pelatihan keterampilan, akses ke pendidikan, dan peluang usaha bagi perempuan untuk meningkatkan ketahanan ekonomi mereka di tengah krisis iklim. Kampanye kesadaran tentang kesetaraan gender dan pencegahan kekerasan perlu diperluas, termasuk di wilayah terdampak bencana.

Kelima, diperlukan data yang lebih baik dan riset lebih dalam untuk memahami kaitan antara iklim dan kekerasan gender agar intervensi lebih tepat sasaran.

Kawan Baik, mari wujudkan masyarakat yang inklusi tanpa harus mendiskreditkan satu pihak. Wujudkan penghidupan yang adil, aman dan adaptif dari gempuran perubahan iklim. Karena Bumi Cuma Satu, Berdaya Sekarang. (Arifian Fajar Putera/ Dompet Dhuafa)