Cikal Bakal Relawan Indonesia di Masa Pra-Kemerdekaan

Tidak semua publik menopang peradaban negara dengan pamrih. Terdapat juga mereka yang memberi kontribusi terhadap negara dengan tidak mengharap pamrih. Yang terakhir ini adalah mereka yang biasa disebut relawan.

Sejarah kerelawanan Indonesia belum terekam secara resmi dengan menggunakan istilah relawan. Akan tetapi benih-benih dan spiritnya sudah mulai ada sebelum masa kemerdekaan Indonesia. Spirit itu seyogyanya tertuang di dalam semua masyarakat tradisional yang belum mengenal peradaban modern.

Masa Pra-Penjajahan: Gotong Royong to the bone

Sebelum penjajahan Belanda, masyarakat Indonesia sudah hidup berdampingan dan komunal. Pemenuhan kebutuhan sehari-hari dilakukan bersama-sama mulai dari bertani, menjahit pakaian sampai membangun tempat tinggal.

Hal ini yang disebut semangat gotong royong. Gotong royong merupakan pengerahan tenaga manusia tanpa pamrih untuk suatu agenda yang bermanfaat bagi publik (Koentjaraningrat, 1974). Ini pula yang membuat gotong royong menjadi cikal bakal kerelawanan di Indonesia.

Di masa ini relawan adalah mereka para keluarga, tetangga atau kerabat yang bergerak atas tanggung jawab kolektif untuk menjaga serta mensejahterahkan komunitasnya.

Masa Penjajahan Belanda: Relawan sebagai Pelopor Kesadaran Bangsa dan Negara

Saat Belanda hadir, struktur kehidupan masyarakat Indonesia berubah drastis. Penindasan menjadi bagian dari sejarah modern Indonesia yang kerap diajarkan dalam sekolah-sekolah.

Masyarakat terpecah belah, ada yang (terpaksa) menyambut kedatangan baik, ada pula yang menolak dan melakukan resistensi.

Dalam Perang Jawa (1825-1830), salah satu tokoh Indonesia yang berperan aktif melawan Belanda adalah Pangeran Diponegoro. Dia bersama pasukannya melawan penjajahan Belanda yang berlangsung lima tahun.

Dua juta orang Jawa atau sepertiga seluruh penduduk terdampak, 200.000 orang Jawa mati. Belanda dengan pasukannya yang berjumlah 15.000 (8.000 orang Eropa dan 7.000 orang Indonesia) terbunuh. Belanda harus mengeluarkan biaya yang besar untuk mengerahkan pasukannya, biaya yang dikeluarkan sebesar 20 juta gulden (Carey, 1976:1). Uang 20 juta gulden bisa setara 5 triliun rupiah jika dikonversi dengan mata uang saat ini.

Walaupun Diponegoro pada akhirnya menemukan kegagalan dalam usahanya, namun pergerakan yang dipimpinnya menghadapi pemerintah kolonial tersebut adalah merupakan sesuatu yang unik, baik di dalam ukuran dan kehebatannya yang luar biasa maupun dalam cakupan ruang lingkup sosialnya; maka kebangkitan Diponegoro itu telah memberikan gambaran pendahuluan tentang luasnya perjuangan nasional yang kemudian timbul pada abad ke-20. Dengan demikian, Perang Jawa tersebut telah melemparkan seberkas cahaya atas kebermulaan kesadaran diri sendiri orang-orang Jawa sebagai suatu negara yang kohesif, suatu langkah yang memang harus dilalui dalam perjalanan menuju kesatuan negara Indonesia (Carey, 1976:45).

Dalam Perang Padri (1803-1838), Tuanku Imam Bonjol menunjukkan perlawanan sengit terhadap Belanda.

Dilansir dari Tirto.id Awal mula Perang Padri terjadi antara pertikaian dua kubu di masyarakat Minangkabau yakni Kaum Padri dan Kaum Adat. Kaum Padri ingin memperbaiki syariat islam di tanah Minangkabau, sedangkan Kaum Adat masih menerapkan kebiasaan tradisi yang bertentangan dengan syariat islam.

Perlawanan sengit terjadi di antara dua kubu tersebut yang akhirnya Kaum Adat meminta pertolongan kepada Belanda. Pada titik ini yang semula pertikaian sipil melebar dengan campur tangan Belanda.

Pada tahun 1922, Belanda berhasil mengusir Kaum Padri. Namun selang beberapa bulan, Belanda harus memutuskan mundur ke Batu Sangkar akibat perlawanan sengit dari Kelompok Padri. Pada tahun berikutnya Belanda mengalami kegagalan dari peperangan melawan Kaum Padri.

Tahun 1925 Belanda mengajukan gencatan senjata yang licik dengan membuat Perjanjian Masang. Pada tahun ini Belanda sudah kewalahan dengan Pangeran Diponegoro. Pada tahun ini pula Tuanku Imam Bonjol, salah satu pemimpin karismatik Kaum Padri mengajak Kaum Adat untuk bersatu melawan Belanda. Akan tetapi perlawanan itu menemui akhir dan Tuanku Imam Bonjol harus hidup di pengasingan.

Walaupun Tuanku Imam Bonjol telah tiada, tetapi jasa-jasa beliau tetap akan dikenang oleh seluruh Bangsa Indonesia, terutama semangat perjuangan beliau untuk dicontoh teladani guna pembangunan masyarakat Indonesia dewasa ini menuju masyarakat adil dan makmur (Martamin, 1984:108).

Dalam Perang Banjar (1859-1905), Indonesia memiliki Pangeran Antasari yang berjuang melawan Belanda.

Semua konlfik internal dalam perebutan tahta terjadi di tubuh Kerajaan Banjar, Sultan Tamjidillah II mendeklarasikan diri sebagai penerus tahta kerajaan. Dia meminta bantuan kepada Belanda untuk melindungi dan melanggengkan kekuasaannya. Akhirnya semula konflik yang bersifat tertutup, berubah menjadi konflik perang sekala besar.

Hal ini terjadi lantaran dalam dunia perdagangan Belanda mempunyai kekuasaan terutama rempah-rempah, mas, batu bara, timah. Setelah ditemukan batu bara di Pengaron dan Banyu Irang di Kerajaan Banjar menjadi penting bagi Belanda dan sejak itulah per janjian ini di intensifkan oleh Belanda (Aziddin dkk, 1983:40).

Pun setelah perang berakhir yakni tahun 1905, semangat perlawanan terus terjadi. Lantaran Belanda memproklamasikan pemerintah kolonial yang menyatakan Kerajaan Banjar dihapuskan dan menurunkan sultan yang semula mereka bantu, yakni Sultan Tamjiddillah II. Hal ini diperparah dengan kebijakan Belanda dalam menarik pajak dengan segala jenisnya dan kerja wajib yang dirasakan rakyat terlalu berat. Keresahan rakyat dan kebenciannya ter hadap penjajah Belanda menjadi militan pada saat tertentu apabila ada orang yang ditokohkan untuk memimpinnya (Aziddin dkk, 1983:109-110).

Kebencian terhadap Belanda ini berlanjut hingga terjadinya pemberontakan di Hariyang, Banua Lawas, Hulu Sungai Utara.

Di tanah Maluku, Indonesia memiliki Martha Christina Tiahahu. Benih-benih revolusioner Martha tidak lepas dari peran orang tuanya yang bernama Kapiten Paulus Tiahahu. Dia memohon kepada sang ayah untuk ikut bertempur melawan penjajah untuk melindungi ayah serta tanah airnya.

Dia juga menjadi tokoh sentral dalam mengajak para perempuan turut ambil dalam pertempuran melawan Belanda (Nafani, 2023:7).

Pada tahun 1817 pertempuran di Kampung Ulat dan Ouw di Saparua, ketika komandan pasukan Mayor Meijer terbunuh, Martha menjadi tokoh penting yang mengatur strategi untuk menghadapi pasukan lawan.

Nasihat, dan tindakan yang berhasil menghasut. Itu adalah Christina Martha, putri fanatik Raja Paulus Triago. Dia sendiri yang memimpin pemberontakan; Ketika semua peluru telah ditembakkan, dia sendiri yang melemparkan batu pertama ke kepala Kapten Krieger, yang kemudian diikuti oleh pelempar batu biasa, yang mengancam akan menghancurkan tentara yang menyerang. Jika ayah tuanya tidak menghentikannya, dia akan mengakhiri pertarungan dengan senjata putih (Nafani, 2023:83-84).

Di Tanah Bali, Indonesia memiliki Ida Dewa Agung Istri Kania, raja Kerajaan Klungkung ke VIII. Raja merujuk sebagai jabatan politis tertinggi dari sebuah kerajaan (Sukartha, 2017:40). Dia seringkali luput dalam narasi sejarah perjuangan Indonesia di masa penjajahan. Hal ini terjadi karena ada upaya penghilangan sejarah di masa pemerintahan Belanda (Erniati, 1981:20 dalam Sukartha, 2017:40).

Pada tahun 1849, Kerajaan Klungkung dapat serangan Belanda. Ida Dewa Agung Istri Kania memimpin pasukan perlawanan dan berhasil mempertahankan kerajaannya. Kerajaan bisa ditaklukan oleh Belanda di tahun 1908 (Sukartha, 2017:40).

Dilansir dari Good News from Indonesia, Ida Dewa Agung Istri Kania merumuskan strategi perang dengan mentalitas sikep pemating (pasukan berani mati) dan senjata I Tagog (meriam). Dengan strategi ini, pasukan berhasil membunuh panglima Belanda yaitu Jendral Michels.

Baik Martha maupun Ida merupakan pejuang perempuan yang luput dari kesaksian sejarah. Jika berbicara tokoh perempuan dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, hal yang sering disebut pasti Kartini, Cut Nyak Dien, dan lain sebagainya. Martha dan Ida juga turun ke bawah, mengangkat senjata dan memotivasi masyarakat untuk menghapuskan penjajahan dari tanah kelahirannya.

Semua tokoh di atas, turut berperang melawan Belanda merupakan relawan, seorang yang berjuang untuk melakukan kebaikan tanpa pamrih. Beberapa menemukan keberhasilan, beberapa lainnya mendapatkan kegagalan, dari pengasingan hingga mati dalam kenangan serta sejarah.

Apakah semangat-semangat itu masih dipertahankan di abad 21 ini? Apakah masyarakat era sekarang mengetahui sumbangsih para relawan-relawan itu? Apakah semangat itu menemukan bentuk barunya atau justru menghilang dari kesadaran kolektif peradaban Indonesia? (Arifian Fajar Putera/ Dompet Dhuafa)