
“So I start a revolution from my bed. ‘Cause you said the brains I had went to my head,” penggalan lirik Don’t Look Back in Anger – Oasis.
Perubahan selalu hadir dari individu-individu cemerlang. Mereka memunculkan ide-ide segar yang relevan dan menjadi solusi dari permasalahan di sekitarnya. Biasanya perubahan itu dimulai dari hal-hal kecil yang luput dari pantauan seperti memilah sampah, membuang sampah pada tempatnya atau bahkan bijak dalam mengonsumsi barang.
Kalian tahu tidak, kalau Indonesia penyumbang sampah makanan rumah tangga terbesar se-Asia Tenggara. Dalam laporan Think Eat Save: Food Waste Indeks Report (2024) dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Indonesia menyumbang 14 juta ton sampah makanan pertahun.
Urutan kedua dipegang oleh Vietnam dengan besaran 7 juta ton pertahun. Uniknya Filipina sebagai penduduk terbesar kedua di Asia Tenggara justru berada di urutan kelima dalam memproduksi sampah makanan.
Apa yang membuat Filipina unik dalam pengelolaan sisa makanan?
Di Filipina terdapat istilah pagpag. Itu bukan kebiasaan, bukan budaya, apalagi regulasi. Itu adalah istilah yang merujuk kepada praktik mengonsumsi makanan dari sisa sampah makanan yang masih bisa dimakan. Tentu mereka akan mengolah kembali, entah dimasak, direbus atau lainnya hanya agar bisa memakan sisa sampah makanan tersebut.
Di Indonesia juga ada pihak-pihak yang mengonsumsi sampah sisa makanan. Salah satu kesamaan antara Filipina dan Indonesia (serta juga sebagian negara lain) adalah mereka yang paling berada di bawah garis kemiskinan justru terkadang mengais-ngais sampah makanan untuk kemudian dikonsumsi kembali.
Secara kebijakan, kedua negara pasti memilikinya, dengan segala aparatus kenegarannya. Tapi apa yang salah? Apa yang berbeda? Apa karena jumlah penduduk? Ini sulit dipercaya, Indonesia peringkat pertama di Asia Tenggara sebagai penduduk terbesar, sedangkan Filipina di urutan kedua. Harusnya Filipina juga berada di peringkat kedua dalam produksi sisa sampah makanan. Nyatanya tidak.
Dilansir GoodStats, sebuah survei yang mereka lakukan pada 2024 dengan total responsden 1.000 dengan judul Perilaku Pengelolaan Sampah Masyarakat Indonesia di 2024, menunjukkan bahwa alasan mengapa masyarakat Indonesia membuang sisa makanan adalah karena makanan sudah tidak segar (47%), tidak terlalu suka makanan (25%), porsi terlalu banyak (7,5%), dan lainnya (20,5%).
Lebih jauh lagi ada 31,5% responsden pasti ada makanan tersisa yang dibuang dalam waktu 2-3 hari. Lalu ada 21,1% respons sering menyisakan makanan dan dalam 1 hari ada makanan sisa yang terbuang.
Terakhir mereka juga mencatat ada 48% yang terkadang memilah sampah, 31,4% menjawab iya, dan 20,5% menjawab tidak. Perlu diketahui mereka yang cenderung menjawab netral seperti Kadang-Kadang hanya karena merasa aman, gampang dan tidak memiliki komitmen.
Lebih mencenangkan lagi ada 55,1% yang menganggap memilah sampah makanan itu terlalu merepotkan. Sedangkan 16,2% menganggap itu adalah tugas tukang sampah dalam melakukan pemilahan sampah.
Dilansir Kompas, jenis sisa makanan terbanyak dibuang di Indonesia adalah sayur kemudian buah dan olahan. Setiap harinya masyarakat Indonesia memproduksi sampah sayuran sebanyak 80 gram/hari, sedangkan buah dan olahan hampir 60 gram/hari. Jika dihitung tahunan, maka sisa sampah sayuran ada 7,3 kg, lalu untuk buah dan olahan mencapai 5 kg.
Artinya masih banyak masyarakat yang belum bijaksana dalam pengelolaan gaya hidup konsumsinya yang membuat mereka menjadi semena-mena dalam siklus membeli dan membuang sampah.
Jika melihat data dari Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) ada 33 juta ton timbulan sampah di tahun 2024. Sebanyak 39,31% sampah merupakan sisa makanan, yakni setara 13 juta ton sampah. Sedangkan sumber sampah terbesar dari rumah tangga yakni 53,72% atau sebesar 18 juta ton sampah.
Artinya intervensi perlu dilakukan dari unit terkecil atau sumber terkecil masyarakat, yakni individu dan pola konsumsinya.
Masyarakat harus membangun pola konsumsi yang bijak sehingga tidak menyisakan sisa sampah makanan. Jika memang tetap ada, maka masyarakat harus bisa memilah dan mengolah sisa sampah makanan tersebut menjadi tidak sia-sia. Misalnya menjadikan mereka sebagai pupuk untuk tanaman/pertanian kecil (urban farming) mereka. Bisa juga diolah menjadi cairan ekoenzim. Bahkan bisa juga dimanfaatkan menjadi pakan ternak atau hewan-hewan liar di lingkungan sekitar.
Tidak etis apabila di belahan dunia lainnya atau teman-teman di Gaza yang sedang kesulitan memperoleh akses pangan, di sisi lain masyarakat dunia atau terkhusus Indonesia masih menyia-nyiakan sisa makanan begitu saja.
Sudah saatnya perubahan dimulai dari diri sendiri. Sudah saatnya masyarakat Indonesia menanamkan sifat bijak dalam dirinya sendiri. Tidak perlu jauh-jauh menanamkan sikap bijak dengan mengikuti pendidikan formal atau kelas-kelas seminar. Sikap bijak bisa dimulai dari perut. Bermulai dari perut dan berakhir di perut. (Arifian Fajar Putera/ Dompet Dhuafa)