Matinya Pakar, Berkuasanya Amatir

Di tengah situasi krisis global yang semakin nyata—udara penuh polusi, laut memanas, tanah longsor, hingga banjir yang tak pernah reda—kita seharusnya mendengarkan mereka yang paling tahu: para pakar. Namun ironisnya, suara pakar justru semakin pelan. Yang lebih keras terdengar adalah suara amatir, influencer, pejabat dadakan, atau orang-orang yang lebih lihai membangun citra ketimbang memahami substansi.

Media sosial mempercepat kematian otoritas ilmiah. Di ruang digital, kebenaran tak lagi diukur dari riset, melainkan jumlah likes, views, dan followers. Seorang selebriti bisa lebih dipercaya publik soal vaksin ketimbang dokter. Seorang politisi bisa lebih berpengaruh dalam isu perubahan iklim ketimbang peneliti yang puluhan tahun menekuninya. Kebenaran jadi soal popularitas, bukan kompetensi.

Masalahnya, fenomena ini tidak berhenti di dunia maya. Ia menular ke dunia nyata, termasuk ruang pengambilan kebijakan. Beberapa jabatan di dunia, diisi oleh orang-orang yang minim kapasitas dan pengalaman.

Di satu sisi, publik memang punya alasan untuk curiga. Tidak semua pakar bebas dari kepentingan. Ada pakar yang rela menjual keahliannya untuk membenarkan proyek tambang yang merusak hutan. Ada akademisi yang memilih diam ketika data ilmiahnya bertentangan dengan kepentingan donatur. Namun di sisi lain, menyingkirkan pakar sama saja dengan membiarkan ruang publik dikuasai amatir.

Apa yang kita butuhkan bukan sekadar pakar yang pintar, tapi pakar yang berintegritas. Pakar yang tidak hanya bicara di ruang rapat, tapi juga mau turun mendengar masyarakat yang jadi korban. Pakar yang berani melawan arus kekuasaan, bukan justru larut di dalamnya.

Kebijakan yang menyangkut nyawa rakyat tidak bisa diserahkan pada hitung-hitungan jangka pendek. Kita perlu menghidupkan kembali otoritas pakar, bukan untuk dikultuskan, melainkan untuk dikritisi agar tetap berpihak pada kemanusiaan.

Jika kita terus membiarkan amatir berkuasa sementara pakar dibungkam, maka yang mati bukan hanya ilmu pengetahuan. Yang mati adalah harapan rakyat akan masa depan yang lebih aman dan adil.

Ancaman Pendidihan Global

Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) deklarasi bahwa era pemasanan global telah henti, tetapi tergantikan oleh era pendidihan global.

Di Jenewa, para ilmuwan dari Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) dan Layanan Perubahan Iklim Komisi Eropa Copernicus menggambarkan kondisi bulan ini sebagai “agak luar biasa dan belum pernah terjadi sebelumnya”.

Fakta lain yang juga mengkhawatirkan adalah bahwa suhu lautan berada pada level tertinggi yang pernah tercatat sepanjang tahun ini.

Direktur Layanan Iklim WMO Chris Hewitt mencatat bahwa tahun 2015 hingga 2022 adalah rekor delapan tahun terpanas, berdasarkan kumpulan data 173 tahun.

Tren ini sudah terlihat sejak akhir April. Satu dekade pemanasan yang jelas dan dramatis dalam satu dekade sejak tahun 1970-an.

Matinya Seorang Pakar

Deklarasi pendidihan global yang diinisiasi oleh PBB menandakan bahwa upaya penanganan pemanasan global selama ini ternyata kurang efektif (atau bahkan belum mulai sama sekali?). Meski para ilmuwan, pakar, ahli dsb sudah menggaungkan bahayanya pemanasan global yang menjangkit seluruh beluk bumi ini, namun sayang pemanasan global justru menjadi lebih buruk.

Kenyataan ini bisa disebabkan banyak faktor, mulai dari komunikasi yang terjalin antara pakar dengan masyarakat yang belum termediasi maksimal, pembaca/masyarakat yang belum memahami betul pesan yang disampaikan, dan pakar yang kesulitan dalam menyampaikan temuannya ke masyarakat.

Dalam taraf ekstrim bisa juga keduanya saling menegasikan satu sama lain: alias tidak percaya dan menolak kehadiran satu sama lain. Contohnya adalah ketika adanya debat atau perbincangan terbuka di media sosial maupun kehidupan sehari-hari

Dalam media sosial siapapun berhak berpendapat—begitu juga dalam kehidupan sehari-hari—mulai dari yang mengenyam pendidikan formal/non-formal, yang tidak memperoleh pendidikan formal/non-formal, orang dengan usia di bawah standar dewasa, orang dewasa, seorang pensiunan, orang dengan kebutuhan khusus, orang dari pihak pemerintahan, bahkan orang yang tidak memiliki kewarasan juga boleh berpendapat selama ia mampu mengucapkan sesuatu dalam sebuah perbincangan.

Dengan terbukanya akses untuk berpendapat, seringkali ditemukan perbincangan bergerak ke arah yang tidak ditentukan: mulai dari yang sifatnya saintifik terkadang bergerak ke arah mistik, kadang juga bergerak ke arah emosional.  Naasnya, kecenderungan arah perbincangan menuju hal yang mistik dan emosional jauh lebih banyak terjadi dan ditemukan.

Kenyataan di atas diperparah dengan sifat kecenderungan seorang hanya ingin mencari, menerima bahkan mempelajari segala sesuatu yang sesuai dengan yang diyakini paling benar, sehingga fakta lainnya tidak dipelajari atau tidak diindahkan. Hal ini disebut bias konfirmasi.

Kenyataan ini didasari oleh paradigma bahwa dunia modern yang dibawa oleh semangat modernitas itu penuh dengan semangat destruktif, yang pada akhirnya memunculkan semangat posmodernitas, sebuah semangat tandingan dari semangat modernitas. Walaupun posmodernitas juga membawa sendiri semangat “destruktifnya” sendiri.

Semangat posmodernitas melihat bahwa modernisasi yang lengkap dengan nuansa penalaran logis dan saintifik tidak membawa kebahagiaan dan kesejahteraan di era-era sekarang ini. Dengan demikian, pertimbangan emosional, mistik dan lainnya yang muncul sebelum adanya pengetahuan ilmiah kembali masuk dalam pertimbangan era saat ini.

Jika modernitas lebih cenderung adanya “pusat” seperti pusat ilmu pengetahuan (sekolah, universitas, lembaga riset), pusat kekuasaan (pemerintah), pusat perekonomian (pasar, bank, koperasi) dsb, maka posmodernitas tidak melihat adanya keterpusatan tersebut.

Contoh sederhananya adalah zaman sekarang apabila ingin menjadi pintar tidak perlu ke sekolah tetapi cukup menonton podcast diskusi ilmu pengetahuan, ingin memiliki kekuasaan tidak harus terjun politik tetapi cukup bekerja kerjas dan memupuk modal uang yang banyak, atau ingin kaya raya tetapi dengan cara melakukan kriminalitas atau melakukan upaya-upaya mistik misal membayar sejumlah uang kepada oknum paranormal dengan berharap uang tersebut bisa berlipat ganda dengan sendirinya.

Dengan penjelasan di atas, artinya banyak alternatif yang bisa dilakukan untuk memperoleh suatu tujuan. Mulai dari tindakan yang jelas melanggar hukum ada juga yang masih dalam payung hukum.

Lahirnya Sejumlah Pakar Amatir

Kemunculan teknologi informasi sangatlah membantu masyarakat, tanpa terkecuali. Contoh dengan adanya Ensiklopedi, Kamus dan laman-laman resmi yang menampilkan sejumlah informasi memungkinkan orang untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan dengan mudah. Dengan demikian, seseorang bisa memiliki wawasan yang luas tanpa harus berpengalaman atau memiliki gelar pengetahuan.

Kecenderungan ini disebut amateurism atau semangat seorang amatir dalam menjadi atau memperoleh sesuatu. Dengan semua orang memiliki akses dan wawasan yang luas dalam cangkupan yang sama tanpa sebuah gelar atau pengalaman maka bisa dibayangkan betapa banyaknya orang amatir ini.

Keterbukaan informasi juga memungkinkan terbukanya peluang lainnya, termasuk dalam dunia kerja. Namun bukan berarti tanpa bahaya, kecenderungan ini—minim pengalaman dan minim kapasitas—bisa menjadi kekeliruan yang berpotensi mendatangkan malapetaka.

Sekarang coba bayangkan seperti ini, pendidikan tidaklah gratis—sebenarnya gratis hanya saja kuota gratis tersebut yang belum mencukupi—sehingga hanya segelintir orang yang mengenyam pendidikan sedangkan yang lain tidak. Jumlah yang tidak mengenyam pendidikan dipastikan lebih besar ketimbang mereka yang mendapatkan pendidikan, tentu faktor yang melatarbelakangi hal tersebut sangatlah banyak dan kompleks.

Kembali lagi, sekarang bayangkan ada lima orang dengan sebuah gelar pendidikan di sebuah ruang atau organisasi yang dihadapkan oleh 10 orang tanpa sebuah gelar pendidikan. Besar dugaan, ketika sebuah debat atau perbincangan terjadi, maka 10 orang tanpa gelar tersebut akan mendominasi sebuah percakapan, terlebih apabila 10 orang tersebut memiliki status dan posisi yang lebih tinggi selain kelima orang lainnya.

Pun bisa juga lima orang dengan gelar pendidikan mendominasi ketika sebuah percakapan terjadi. Dengan catatan kelima orang tersebut harus berada di posisi yang jauh lebih tinggi dari 10 orang lainnya.

Masa Depan Layanan Kemanusiaan dan Sosial

Seorang pegiat atau organisasi penanggulangan bencana dituntut untuk memberikan pelayanan terbaik bagi bumi beserta makhluk hidupnya. Namun kegagalan manajemen atau aksi dalam penanggulangan bencana tidak dapat dielakan, entah karena human error maupun memang sedang mengalami nasib buruk. Seperti ditemukannya 176 lembaga filantropi yang juga beroperasi dalam penanggulangan bencana terindikasi menyelewengkan dana.

Begitu juga sederet kasus serupa lainnya. Data ini diperkuat dengan temuan bahwa sektor perdagangan (pengadaan barang dan jasa) adalah sektor yang memiliki potensi korupsi terbesar yakni 21 triliun kerugian negara akibat kasus korupsi.

Contoh kasus lainnya adalah perizinan yang menjadi potensi terjadinya penyelewengan yang besar. Di mana untuk melakukan izin program kegiatan biasanya membutuhkan sejumlah “uang pelicin” agar bisa terlaksana atau sukses.

Selain merugikan masyarakat, kasus ini juga merugikan lingkungan hidup. Akhirnya tidak heran apabila pemanasan global berubah menjadi pendidihan global, karena dalam pengentasannya banyak masalah.

Faktor terjadinya masalah-masalah di atas tentu banyak, dan tidak bisa digeneralisir, bisa jadi organisasi tersebut dijalankan oleh yang bukan pakar—yang berbasis pendidikan ataupun pengalaman—bisa juga karena dijalankan oleh pakarnya, maka mampu melakukan kesewenang-wenangan di atas. Artinya check and balance dan kemurahan hati dalam menerima pendapat yang berseberangan dengan yang diyakini merupakan kunci yang penting dan patut dipertimbangan.

Akan tetapi yang perlu dicatat adalah ketika sebuah nilai yang luhur, baik, adil dan berorientasi memberi manfaat baik kepada masyarakat itu dijunjung tinggi, terlepas mereka adalah seorang pakar atau bukan, pasti bisa menjalankan atau memanajemen program dan aksi kemanusiaan dengan baik dan tepat sasaran. (Arifian Fajar Putera/ ID Humanity Dompet Dhuafa)