amp-web-push-widget button.amp-subscribe { display: inline-flex; align-items: center; border-radius: 5px; border: 0; box-sizing: border-box; margin: 0; padding: 10px 15px; cursor: pointer; outline: none; font-size: 15px; font-weight: 500; background: #4A90E2; margin-top: 7px; color: white; box-shadow: 0 1px 1px 0 rgba(0, 0, 0, 0.5); -webkit-tap-highlight-color: rgba(0, 0, 0, 0); } .amp-logo amp-img{width:190px} .amp-menu input{display:none;}.amp-menu li.menu-item-has-children ul{display:none;}.amp-menu li{position:relative;display:block;}.amp-menu > li a{display:block;} /* Inline styles */ div.acss138d7{clear:both;}div.acss5dc76{--relposth-columns:3;--relposth-columns_m:2;--relposth-columns_t:3;}div.acssae964{aspect-ratio:1/1;background:transparent no-repeat scroll 0% 0%;height:150px;max-width:150px;}div.acss6bdea{color:#333333;font-family:Arial;font-size:12px;height:75px;} .icon-widgets:before {content: "\e1bd";}.icon-search:before {content: "\e8b6";}.icon-shopping-cart:after {content: "\e8cc";}
Orang-orang dengan kompetensi tinggi dan integritas luhur hampir selalu membawa manfaat besar bagi lingkungan sekitarnya. Mereka yang benar-benar ahli tidak hanya terasah melalui pendidikan formal, tetapi juga oleh pengalaman dan tantangan zaman. Karena itu, kompetensi yang sejati kerap tumbuh bersama kebijaksanaan.
Mereka ini sering menjadi sumber inspirasi. Tidak jarang orang lain berlomba-lomba untuk belajar langsung dengan mereka karena saling terpukau dan berharap menjadi sepertinya di kemudian kelak. Sehingga setiap bepergian ke mana saja, pasti ada murid yang sedang mengemban ilmu kepadanya.
Dengan kompetensi itu mereka kerap menempati posisi yang strategis dalam kancah hidup masyarakat. Bisa berupa intelektual, tokoh adat, dan tokoh masyarakat. Bisa juga dalam lingkungan perusahaan, organisasi, lembaga mereka biasanya menempati posisi yang strategis nan krusial. Seolah-olah tanpanya, lembaga tersebut tak akan mampu beroperasi seperti seyogyanya.
Akan tetapi di suatu wilayah yang penuh jargon meritokrasi ini, orang-orang yang benar-benar kompeten justru sering disingkirkan. Mereka yang menguasai substansi, punya rekam jejak, dan bekerja dengan dedikasi, seringkali kalah oleh mereka yang punya koneksi, akses ke modal, atau sekadar kedekatan dengan pemimpin. Fenomena ini menjadi wajah telanjang ketidakadilan struktural: kompetensi dipinggirkan, koneksi dimuliakan.
Kita melihatnya di berbagai level jenjang profesionalisme. Fenomena ini bukan sekadar persoalan etika, melainkan berdampak langsung pada kualitas hidup masyarakat. Seorang pemimpin suatu wilayah yang dipilih karena koneksi, bisa gagal mengelola keberlangsungan organisasi dan berujung pada pemutusan hubungan kerja yang massal. Akibatnya, banyak pihak yang menjadi korban.
Salah satu ilmuwan menjelaskan perspektif yang tak kalah penting: mereka yang berada di posisi tertentu, tidak melulu karena memiliki kompetensi yang memadai. Melainkan karena memiliki kapital sosial, kapital budaya, dan kapital ekonomi. Kapital sosial merujuk kepada relasi sosial dan koneksi. Kapital budaya merujuk kepada status soial dan pendidikan. Kapital ekonomi merujuk kepada kekayaan atau finansial. Orang yang memiliki kapital sosial yang kuat, meskipun kurang kompeten, dapat lebih mudah memperoleh jabatan dibanding mereka yang lebih berbakat tetapi kurang memiliki jaringan.
Ilmuwan lain menyebutnya sebagai Peter Principle: dalam sebuah hierarki, seseorang cenderung dipromosikan hingga mencapai tingkat ketidakmampuannya. Artinya, seorang karyawan yang kompeten di suatu posisi akan terus dipromosikan hingga mereka menduduki posisi yang tidak lagi sesuai dengan keahlian mereka, sehingga akhirnya mereka menjadi kurang efektif. Fenomena ini sering kali menyebabkan ketidakefisienan dalam organisasi dan lingkungan kerja yang kurang produktif.
Hal ini bisa terjadi lantaran minimnya pelatihan atau kursus intens bagi mereka yang mendapatkan promosi di posisi barunya. Mereka yang naik jabatan, tidak diberi kesempatan untuk belajar lagi. Melainkan belajar sekaligus bekerja. Hasilnya performa dia akan bergantung kepada formula eksperimen yang ia lakukan dan bergantung kepada keberuntungan belaka.
Namun, persoalan ini lebih dalam dari sekadar teori. Ia menyentuh nasib jutaan orang yang berharap pada pelayanan publik. Lihatlah bagaimana masyarakat di pelosok menunggu bantuan yang terlambat, karena rumitnya birokrasi proses yang berlangsung dari hulu ke hilir.
Lihatlah bagaimana kebijakan pendidikan dikesampingkan oleh segelintir orang atau kesejahteraan guru yang masih jauh dari kata layak. Lihatlah bagaimana infrastruktur dibangun megah, tapi tanpa riset tentang risiko bencana, hanya karena proyeknya menguntungkan pihak tertentu.
Rakyat tidak hanya kehilangan haknya atas layanan publik yang layak, tetapi juga hak atas masa depan yang ditentukan secara adil. Kompetensi yang dipinggirkan berarti hak publik dipertaruhkan.
Solusi atas masalah ini tidak bisa hanya berharap pada “kesadaran moral”. Dibutuhkan mekanisme struktural: sistem rekrutmen transparan, meritokrasi yang dijaga oleh lembaga independen, partisipasi publik dalam pengawasan.
Masyarakat sipil, serikat pekerja, akademisi, dan media harus terus mendesak idealisme ini dalam seluruh dunia profesionalisme.
Bangsa ini butuh keberanian untuk memutus lingkaran busuk koneksi. Karena tanpa kompetensi, dunia ini hanya akan melahirkan kebijakan yang gagal, pembangunan yang pincang, dan rakyat yang terus jadi korban. (Arifian Fajar Putera/ ID Humanity Dompet Dhuafa)
Jakarta—Meskipun hidup di dunia tanpa bunyi, teman Tuli masih bisa melafalkan Al-Quran lewat tanda. Dengan…
Medan--Dompet Dhuafa melalui Direktur Program Sosial, Kemanusiaan, dan Dakwah, K.H. Ahmad Shonhaji, MM, menyerahkan santunan…
Bogor—Setiap elemen masyarakat perlu memiliki pengetahuan manajemen bencana, tidak terkecuali para dai. Perannya sebagai pendakwah,…
Pemateri LPM Dompet Dhuafa menyampaikan materi tentang Pemulasaran Jenazah Antara Syar’I dan Tradisi (19/9) Jakarta—100…