
Tidak ada yang meminta Mohammad Yamin muda untuk merumuskan Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 silam. Ia mengorbankan waktu, pikiran, tenaga, tanpa jaminan keamanan, untuk menjahit teks yang menjadi tonggak sejarah bangsa ini, secara sukarela demi kepentingan bersama. Hari ini, semangat yang sama—kehendak untuk hidup bukan semata untuk diri sendiri, tapi bagi orang lain—dihidupkan kembali oleh para volunteer.
Sumpah Pemuda lahir dari Kongres Pemuda II yang digelar di Batavia (Jakarta) pada 27–28 Oktober 1928, sebagai kelanjutan dari Kongres Pemuda I (1926). Dua kongres ini menjadi tonggak tumbuhnya kesadaran nasional dan semangat persatuan di kalangan pemuda Indonesia.
Pada saat wilayah Indonesia masih dalam belenggu kekuasaan kolonial Belanda, mengadakan perkumpulan untuk tindakan revolusioner adalah hal yang membahayakan. Sejarah mencatat, pada Kongres Pemuda II, para pemuda menentukan tiga tempat berbeda untuk menghindari pengawasan intel pemerintah kolonial Belanda.
Cerita bersejarah tentang Mohammad Yamin dan para tokoh muda ketika menggagas teks penting Sumpah Pemuda pada tahun 1928 dan tindakan kerelawanan para pemuda saat ini, memiliki banyak perbedaan mencolok dalam konteks sosial-politik, dan lain-lain. Namun bila ditelisik basis sosiologis dan antroplogisnya, keduanya bersumber dari sumur yang sama, yakni altruisme.
August Comte, sosiolog “uzur”, memperkenalkan pertama kali konsep altruisme dalam bahasa Perancis, “vivre pour autrui”, yang dalam bahasa Inggris berarti “Living for Others”. Ia menekankan altruisme merupakan prasyarat moral bagi terbitnya zaman positivisme; zaman di mana manusia mencapai tingkat tertinggi dalam rasionalitasnya.
Altruisme, atau “Hidup bagi Orang Lain” menjadi kode moral di masyarakat yang mengedepankan rasionalitas. Menurut Comte, bahagia atau tidaknya suatu individu atau masyarakat bergantung pada dominasi naluri simpatik yang memadai dalam kehidupan sosial manusia.
Apa itu altruisme dan bagaimana tindakan altruistik itu kita perlu memahaminya lewat karya dari Kristen Monroe, The Heart of Altruism.
Monroe mendefinisikan altruisme sebagai lawan dari self-interest. Menurutnya, altruisme adalah: “suatu perilaku yang dimaksudkan untuk memberi manfaat kepada orang lain, meskipun hal ini berisiko dan dapat mengorbankan kesejahteraan pelakunya” (Monroe 1996:6).
Altruisme, kata Monroe, adalah tindakan tanpa pamrih, tujuannya hanyalah bagi kemaslahatan yang lain tanpa timbal balik bagi si pelaku.
Jika ditarik ke konteks sejarah, Sumpah Pemuda sejatinya adalah bentuk altruisme kolektif bangsa Indonesia. Para pemuda 1928 melepaskan ego kedaerahan, bahasa, dan identitas masing-masing demi cita-cita bersama: satu tanah air, satu bangsa, satu bahasa Indonesia.
Mereka hidup dalam semangat “living for others”, menjahit perbedaan menjadi kekuatan. Maka, Sumpah Pemuda bukan sekadar peristiwa politik, melainkan pernyataan moral bahwa kebersamaan harus diperjuangkan secara sukarela.
Semangat altruistik juga tercermin dalam aksi kebaikan yang dilakukan para relawan sekarang ini, tak terkecuali Dompet Dhuafa Volunteer (DDV). Nur Yusril Mahendra dari DDV Sumatera Barat membagikan ceritanya tentang ini.
Yusril aktif dalam DDV Sumatera Barat. Sudah banyak aksi kerelawanan yang ia lakukan bersama teman-teman DDV lainnya. Mulai dari turun tangan di tengah bencana, mengajar di daerah tertinggal, atau mengulurkan bantuan bagi yang terpinggirkan.
“Kalau ditanya kenapa Yusril menjadi volunteer dan akan tetap terus mengabdi di dunia Volunteer. Karena Yusril tau betapa sunyinya ketika kita butuh pertolongan dan tak ada tempat untuk bersandar. Karenanya, ini bukan terkait waktu luang melainkan tentang tanggung jawab kita sebagai manusia,” ujar Yusril.
Seringkali ia mendahulukan kepentingan orang lain di atas kepentingannya pribadi. Seperti saat bencana banjir bandang di Sumatera Barat. Yusril memutuskan untuk turun membantu mereka yang terdampak bencana, meskipun ia masih dalam masa kuliah dan bekerja.
Sikap altruistik yang dilakukan Yusril bertopang pada salah satu hadist yang selalu ia ingat: “Tidak beriman seseorang diantara kalian hingga ia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri.”
Yusril meyakini kerja-kerja kebaikan dalam membantu sesama adalah bentuk kedewasaan seseorang. Pengalaman-pengalaman altruisme ini membantu dirinya belajar menjadi manusia yang lebih baik.
Sementara itu punggawa DDV dari Nusa Tenggara Timur, Mansyur Sagran, membagikan alasannya terjun dalam dunia kerelawanan. Dorongan terbesar dirinya adalah keresahan menyaksikan ketimpangan sosial yang terjadi di sekitar lingkungan tempat tinggalnya.
“Saya melihat permasalahan sosial yang begitu besar antara kehidupan di kota dan di pelosok. Akhirnya saya memilih langkah untuk menjadi relawan bergabung dengan komunitas, membuka diri, dan belajar bagaimana cara mengubah ketimpangan itu menjadi solusi,” ujar Mansyur.
Dari para patriot Sumpah Pemuda hingga cerita dari DDV, dari Kongres Pemuda hingga gerakan volunteer sekarang ini, semangat yang berkobar tetap sama: hidup untuk orang lain.
Altruisme menjadi benang merah yang menjahit masa lalu dan masa kini bangsa ini, sebuah nilai yang menegaskan bahwa kemerdekaan dan kemanusiaan lahir dari keikhlasan untuk memberi.
Di tengah dunia yang kian individualistik, tindakan para relawan menjadi pengingat bahwa cinta kepada sesama masih menjadi kekuatan paling murni untuk menegakkan peradaban. Selama masih ada orang-orang yang rela berbuat tanpa pamrih, Indonesia akan selalu memiliki harapan. (Muhammad Afriza Adha/ID Humanity Dompet Dhuafa)
