amp-web-push-widget button.amp-subscribe { display: inline-flex; align-items: center; border-radius: 5px; border: 0; box-sizing: border-box; margin: 0; padding: 10px 15px; cursor: pointer; outline: none; font-size: 15px; font-weight: 500; background: #4A90E2; margin-top: 7px; color: white; box-shadow: 0 1px 1px 0 rgba(0, 0, 0, 0.5); -webkit-tap-highlight-color: rgba(0, 0, 0, 0); } .amp-logo amp-img{width:190px} .amp-menu input{display:none;}.amp-menu li.menu-item-has-children ul{display:none;}.amp-menu li{position:relative;display:block;}.amp-menu > li a{display:block;} /* Inline styles */ div.acss138d7{clear:both;}div.acss5dc76{--relposth-columns:3;--relposth-columns_m:2;--relposth-columns_t:3;}div.acss55591{aspect-ratio:1/1;background:transparent url(https://idhumanity.org/wp-content/uploads/2025/03/af8394f7304246149e9a581caf2805b3-150x150.jpg) no-repeat scroll 0% 0%;height:150px;max-width:150px;}div.acss6bdea{color:#333333;font-family:Arial;font-size:12px;height:75px;}div.acss749e0{aspect-ratio:1/1;background:transparent url(https://idhumanity.org/wp-content/uploads/2025/03/IMG_5500-150x150.jpg) no-repeat scroll 0% 0%;height:150px;max-width:150px;}div.acss2ccdf{aspect-ratio:1/1;background:transparent url(https://idhumanity.org/wp-content/uploads/2025/05/WhatsApp-Image-2025-05-16-at-16.54.09_178a0788-150x150.jpg) no-repeat scroll 0% 0%;height:150px;max-width:150px;} .icon-widgets:before {content: "\e1bd";}.icon-search:before {content: "\e8b6";}.icon-shopping-cart:after {content: "\e8cc";}
Kita hidup di zaman yang kerap disebut sebagai era modern. Namun label tersebut terasa tak berarti ketika kita melihat kenyataan sosial yang tampak di sekeliling kita. Memang banyak perkembangan pesat di zaman kiwari: Kota yang semakin tumbuh, teknologi semakin canggih, akses informasi yang kian cepat dan melimpah. Tetapi seperti hal ihwal lainnya yang kerap menciptakan kenyataan dilematis, kehidupan modern pun memiliki dampak laten yang tak diinginkan.
Di tengah kemajuan sekarang ini, masih banyak orang bekerja tanpa jaminan yang pasti, atau masih banyak—atau mungkin sebagai sebuah dampak dari pembangunan—petani-petani tidak memiliki tanah untuk produksi pertanian.
Selain itu, kemajuan menampilkan kepada kita sebuah jurang ketimpangan sosial, seperti kesenjangan antara kota dan desa.
Banyak kota-kota memiliki peran penting dalam perkembangan industri, namun di sisi lain banyak daerah-daerah yang semakin tertinggal karena dianggap tidak menyimpan potensi keuntungan dalam kacamata industri. Kondisi daerah tertinggal ini berefek pada tidak meratanya fasilitas penunjang hidup, seperti rumah sakit, sekolah dan lapangan pekerjaan. Kondisi-kondisi tersebut membawa sebagian besar orang hidup dalam kesulitan.
Dalam konteks inilah, dakwah tidak bisa lagi berdiri sebagai praktik simbolik atau seremonial belaka. Ia harus menjelma menjadi gerakan sosial yang merespons secara nyata problematika umat.
Corps Dai Dompet Dhuafa (Cordofa) hadir sebagai salah satu jawaban atas tantangan tersebut. Mereka bukan sekadar penyampai pesan keagamaan, melainkan agen perubahan yang menyatu dalam kehidupan masyarakat bawah. Para dai Cordofa menyadari bahwa tugas mereka bukan hanya membimbing iman, tapi juga memulihkan martabat kemanusiaan—dengan cara-cara yang konkret, terukur, dan kontekstual.
“Cordofa lahir dari rahim lembaga ziswaf. Program-program Dompet Dhuafa sedari awal sudah berfokus membantu kelompok dhuafa dalam masalah kehidupan di sehari-hari mereka: masalah kesehatan, pendidikan, ekonomi dan masalah hidup lainnya. Dai Cordofa harus bisa berdakwah, mensyiarkan nilai-nilai kebaikan dalam Islam, dan dalam kesempatan yang sama menolong orang melalui pendekatan sosial, kesehatan, pendidikan dan ekonomi,” ujar Ahmad Pranggono, Manajer Cordofa.
Ahmad Pranggono selanjutnya menjelaskan tentang program Dai Transformatif yang mengirimkan dai-dai Cordofa ke daerah 3T (Terluar, Terpencil dan Tertinggal) di sejumlah wilayah di Indonesia. Menurutnya, Dai Transformatif menjadi model tepat untuk mewakili semangat dakwah Cordofa dalam memberikan kontribusi nyata bagi permasalahan umat.
Lewat Dai Transformatif, para dai tidak hanya bertugas mensyiarkan nilai-nilai keislaman sebagaimana lazimnya dakwah kebanyakan, tetapi juga mengemban tugas khusus menjadi penggerak sebuah perubahan positif di suatu daerah.
Salah satu contohnya bisa kita lihat di Desa Manik, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung Barat. Di sana, para petani tunakisma—petani tanpa lahan—selama ini hidup dalam ketergantungan dan ketidakpastian. Mereka tidak memiliki tanah untuk digarap sendiri. Keadaan yang ada selama ini membuat mereka kesulitan mencari sumber penghidupan.
Ustadz Sofwan, seorang dai Cordofa yang bertugas dalam program Dai Transformatif, melihat persoalan ini bukan semata sebagai nasib, melainkan sebagai tantangan yang bisa diatasi bersama. Ia menggagas penghimpunan dana swadaya bersama warga. Salah satunya mengelola dana zakat yang terhimpun.
Setelah modal terkumpul, mereka menyewa sebidang tanah untuk budidaya jamur. Budidaya jamur tiram ini terus berkembang. Para penerima manfaat, dalam hal ini Petani tunakisma, yang sebelumnya hidup dalam keterbatasan, sekarang mampu memanen sekitar 9 hingga 19 kilogram jamur setiap dua harinya.
Budidaya jamur tiram ini ditujukan untuk dijual di pasar dengan nilai jual yang relatif stabil. Sehingga hal ini tidak hanya memberi keuntungan secara finansial, tetapi juga membuat petani tetap berdaya di tengah kesulitan.
Begitu juga di tempat lain seperti di Mentawai, pulau kecil di sebelah barat pulau Sumatera, tepatnya di Dusun Boriai, dai transformatif menginisiasi panen raya beras di daerah yang sebelumnya tidak karib dengan budidaya pertanian. Ketergantungan warga akan konsumsi nasi, panen raya ini menjadi oase dari kesulitan mereka mendapatkan akses beras selama ini.
Kini atas kerja keras warga dan dai, lahan padi seluas 18 hektar mampu menunjang kebutuhan beras untuk sekitar 45 KK di dusun tersebut.
Inilah wajah dakwah di era modern yang penuh kompleksitas hidup. Dalam dakwahnya tidak hanya berhenti di ruang-ruang majelis, tetapi menerjemahkan nilai-nilai luhur itu ke dalam aksi nyata.
Menurut Ahmad Pranggono dai-dai Cordofa wajib memilki tiga kriteria. Pertama, dalam dakwahnya, dai tidak hanya berceramah tentang nilai-nilai kebaikan dalam Islam secara teori, tetapi penting sekali mengangkat isu-isu tematik tentang masalah atau kondisi yang sedang dihadapi masyarakat.
“Jadi lewat isu tematik, dai tidak lagi berbicara tentang masalah-msaalah yang tidak ada hubungannya dengan kondisi kekinian yang sedang dihadapi jamaah. Yang kedua para dai harus solutif. Dari kajian tematik yang dibicarakan, didiskusikan, di ceramahnya harus memberikan solusi, dan ketiga implementatif. Artinya solusi itu harus bisa dan mungkin untuk direalisasikan atau dikerjakan,” ujar Ahmad Pranggono.
Melalui Cordofa, Dompet Dhuafa menunjukkan bahwa dakwah sosial bukanlah konsep baru, tetapi warisan lama yang kini harus dihidupkan kembali dalam bentuk yang relevan. Dalam zaman modern yang menelurkan banyak problematika hidup ini, peran dai tidak cukup hanya sebagai penceramah. Ia harus menjadi pendamping, penggerak, dan penyambung harapan.
Karena pada akhirnya, dakwah bukan hanya soal menyampaikan kebenaran, tetapi juga memperjuangkan keadilan. Bukan hanya soal menuntun ke jalan yang lurus, tetapi juga menemani mereka yang terpinggirkan untuk bangkit dan berdaya. (Muhammad Afriza Adha/ID Humanity Dompet Dhuafa)
Samarinda, Kalimantan Timur—“Kita tidak hanya bisa menumbuhkan kebaikan dalam sebuah aksi, tapi kita juga bisa…
Tangerang Selatan—Corps Dai Dompet Dhuafa (Cordofa) menggelar Open House Idul Adha 1446 H di Gedung…
Ambon—Pada Rabu (11/6/2025), Dai Pemberdaya Dompet Dhuafa Maluku, Abdul Indra Suparman, S.Pd., meraih penghargaan dalam…
Jakarta—Dompet Dhuafa Volunteer (DDV) di seluruh Indonesia turut menyemarakkan program Tebar Hewan Kurban Dompet Dhuafa…
NTT—ID Humanity Dompet Dhuafa melalui Corps Dai Dompet Dhuafa (Cordofa) sukses melaksanakan Pelatihan Dasar Kader…
Tangerang Selatan—ID Humanity Dompet Dhuafa melalui Disaster Management Center (DMC) mengajak masyarakat untuk turut serta…